Makalah Hukum
Perbankan Syariah
Pada
Perbankan Syariah
DISUSUN
OLEH :
Muammar (121209300)
Dosen
Pembimbing :
Chairul
Fahmi M.A.
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI Ar-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA
ACEH
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
A. Latar
Belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan
Masalah.................................................................................................... 1
C. Tujuan
Penulisan...................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 2
A. Konsep
Murabahah Dalam Fiqh.............................................................................. 2
B. Konsep
Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS)............................. 4
C. Aplikasi
Murabahah Dalam Perbankan Syariah...................................................... 7
D. Pengguanaan
Pembiayaan Murabahah Dalam Perbankan Syariah.......................... 12
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 14
A. Kesimpulan.............................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syariah berkembang
dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan
istilah-istilah berbahasa Arab. Banyak masyarakat yang masih bingung
dengan istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk
tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syariat Islam ataukah hanya rekayasa semata. Melihat
banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam makalah ini penulis akan membahas
salah satu produk tersebut dalam konsep perbankan syariah. Salah satu dari
produk tersebut adalah Murabahah.
Murabahah adalah salah satu dari bentuk akad jual beli yang telah banyak
dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi
dalam perbankan syariah yang memiliki prospek keuntungan yang cukup
menjanjikan. Karena keuntungan yang menjanjikan itulah Sehingga semua atau
hampir semua
lembaga keuangan syariah menjadikannya sebagai produk
financing dalam pengembangan modal mereka.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori penerapan akad Murabahah
dalam Perbankan Syariah?
2. Bagaimana aplikasi penerapan akad Murabahah
dalam Perbankan Syariah?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui teori penerapan
akad Murabahah dalam Perbankan Syariah.
2. Untuk mengetahui aplikasi penerapan
akad Murabahah dalam Perbankan Syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Murabahah Dalam Fiqh
Murabahah
berasal dari kata dasar رَبِحَ - يَرْبَحُ - ِربْحًا yang berarti beruntung. Jadi,
pengertian murabahah secara bahasa adalah mengambil keuntungan yang disepakati.
Bai’ murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ murabahah penjual harus memberitahu
harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai
tambahannya.[1]
Dibawah ini defenisi tentang murabahah menurut pendapat para ekonom muslim
yaitu :
Ø Muhammad Syafi’i Antonio
Murabahah
adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati. Dalam murabahah, penjual harus memberitahu harga pokok yang ia beli
dan menentukan tingkat keuntungan yang disepakati.[2]
Ø Menurut Adiwarman A. Karim
Murabahah
adalah transaksi jual beli dimana Bank menyebutkan jumlah keuntungan yang
diperoleh. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli.
Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin).[3]
Murabahah
dalam istilah fiqh merupakan suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual
menyatakan biaya perolehan barang (al-tsaman
al-awwal) dan tingkat keuntungan yang diinginkan.[4]
Murabahah
masuk kategori jual beli muthlaq dan jual beli amanat. Ia disebut jual beli muthlaq karena obyek akadnya adalah
barang dan uang. Sedangkan ia termasuk kategori jual beli amanat karena dalam
proses transaksinya penjual diharuskan
dengan jujur menyampaikan harga perolehan dan keuntungan yang diambil ketika
akad.
Para
ulama telah sepakat (ijma’) akan kebolehan akad murabahah, tetapi Alquran tidak
pernah secara langsung dan tersurat membicarakan tentang murabahah, walaupun di
dalamnya ada sejumlah acuan tentang jual beli dan perdagangan. Demikian juga tampaknya tidak ada satu hadis pun yang
secara spesifik membicarakan mengenai murabahah. Oleh karena itu, meskipun Imam
Malik dan Imam Syafii membolehkan jual beli murabahah, tetapi keduanya tidak
mempekuat pendapatnya dengan satu hadis pun. Sedangkan dasar hukum yang
dijadikan sandaran kebolehan jual beli murabahah di buku-buku fikih muamalat kotemporer lebih
bersifat umum karena menyangkut jual beli atau perdagangan pada umumnya.
Di
samping itu, keberadaan model jual beli murabahah sangat dibutuhkan masyarakat
karena ada sebagian mereka ketika akan membeli barang tidak mengetahui
kualitasnya maka ia membutuhkan pertolongan kepada yang mengetahuinya, kemudian
pihak yang dimintai pertolongan tersebut membelikan barang yang dikehendaki dan
menjualnya dengan keharusan menyebutkan harga perolehan (harga beli) barang
dengan ditambah keuntungan.
Sebagai
bagian dari jual beli, murabahah memiliki rukun dan syarat yang tidak berbeda dengan jual beli (al-bai’) pada
umumnya.Namun demikian, ada beberapa ketentuan khusus yang menjadi syarat
keabsahan jual beli murabahah yaitu:
1. Adanya
kejelasan informasi mengenai besarnya modal awal (harga perolehan/ pembelian),
semuanya harus diketahui oleh pembeli saat akad; dan ini merupakan salah satu
syarat sah murabahah.
2. Adanya
keharusan menjelaskan keuntungan yang ambil penjual karena keuntungan merupakan
bagian dari harga. Sementara keharusan mengetahui harga barang merupakan syarat
sah jual beli pada umumnya.
3. Jual
beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki/hak kepemilikan
telah berada di tangan penjual. Artinya bahwa keuntungan dan resiko barang tersebut ada pada penjual sebagai
konsekuensi dari kepemilikan yang timbul dari akad yang sah.
4. Transaksi
pertama (antara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka
tidak boleh jual beli secara murabahah (antara pembeli pertama yang menjadi
penjual kedua dengan pembeli murabahah), karena murabahah adalah jual beli
dengan harga pertama disertai tambahan keuntungan.
5. Hendaknya
akad yang dilakukan terhindar dari praktik riba, baik akad yang pertama (antara
penjual dalam murabahah sebagai pembeli dengan penjual barang) maupun pada akad yang kedua antara penjual dan
pembeli dalam akad murabahah.[5]
B.
Konsep
Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Paparan
tentang jual beli murabahah di atas merupakan konsep dan praktik murabahah yang
banyak dituangkan dalam berbagai literatur klasik, dimana barang yang menjadi
obyek murabahah tersedia dan dimiliki penjual pada waktu negosiasi atau akad
jual beli berlangsung. Kemudian ia menjual barang tersebut kepada pembeli
dengan menjelaskan harga pembelian dan keuntungan yang akan diperoleh. Karena
itu, dapat dikatakan praktik tersebut adalah transaksi jual beli biasa, kelebihannya terletak pada pengetahuan
pembeli tentang harga pembelian awal sehingga menuntut kejujuran penjual dalam
menjelaskan harga awal yang sebenarnya.
Dalam
praktik di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk bank syariah, bentuk murabahah
dalam fiqh klasik tersebut mengalami beberapa modifikasi. Murabahah yang
dipraktikkan pada LKS dikenal dengan Murabahah
Li al-‘Amir Bi asy-Syira’ yaitu transaksi jual beli di mana seorang nasabah
datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah barang dengan kriteria
tertentu, dan ia akan membeli barang tersebut secara murabahah, yakni sesuai
harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan yang disepakati kedua
pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara cicilan berkala sesuai dengan
kemampuan finansial yang dimiliki.
Mengenai
kedudukan hukum praktik murâbahah li al-âmir bi al-Syira’ ulama kontemporer
berbeda pendapat. Ada yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang atau
mengharamkan. Di antara ulama yang mengakui keabsahan/kebolehan murabahah li al-‘amir bi al-Syira’
adalah Sami Hamid, Ali Ahmad Salus, Shadiq Muhammad Amin, Ibrahim Fadhil, dan
lainnya. Adapun argumentasi mereka adalah sebagai berikut :
1. Hukum
asal dalam muamalah adalah diperbolehkan dan mubah kecuali terdapat nash shahih
dan sharih yang melarang dan mengharamkannya.
2. Keumuman
nash Al-Qur’an dan hadis yang menunjukan kehalalan segala bentuk jual beli, kecuali terdapat dalil
khusus yang melarangnya.
3. Terdapat nash ulama fikih
yang mengakui keabsahan akad ini, di antaranya pernyataan Imam Syafi’i dalam
kitab al-Umm: “dan ketika seseorang memperlihatkan sebuah barang tertentu
kepada orang lain, dan berkata: “belikanlah aku barang ini, dan engkau akan aku
beri margin sekian”, kemudian orang tersebut mau untuk membelikannya, maka jual
beli tersebut diperbolehkan”.
4.
Transaksi
muamalah dibangun atas asas maslahat.
5.
Pendapat
yang memperbolehkan bentuk murabahah ini dimaksudkan untuk memudahkan persoalan
hidup manusia.
Adapun ulama
kontemporer yang melarang dan mengharamkan praktik murabahah li al-amir bi
al-Syira’ antara lain: Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Rafîq al-Mishrî dan
lainnya. Berikut ini argumen yang memperkuat pendapat mereka:[6]
1. Transaksi murabahah di
LKS/bank syariah sebenarnya bukan dimaksudkan untuk melakukan jual beli tapi
hanya sekedar hîlah atau trik untuk menghalalkan riba. Mereka mengatakan
bahwa maksud dan tujuan sebenarnya transaksi murabahah adalah untuk
mendapatkan uang tunai, sebab kedatangan nasabah ke LKS/bank syariah sebenarnya
adalah untuk mendapatkan uang tunai.
2.
Transaksi
murabahah termasuk jual beli ‘ înah yang diharamkan. Jual beli ‘înah adalah
pinjaman ribawi yang direkayasa dengan praktik jual beli.
3.
Bank
syariah dalam melakukan transaksi murabahah, menjual barang yang tidak
atau belum dimilikinya , dimana pihak bank syariah dan nasabah berjanji untuk
melakukan transaksi murabahah.
Atas dasar perbedaan ulama di atas, Muhammad Taqi Usmani
mengakui bahwa pada mulanya murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan
melainkan hanya alat untuk menghindari “bunga bank” dan juga bukan merupakan
instrumen ideal untuk mengembangkan tujuan riil ekonomi Islam. Instrumen murabahah
hanya digunakan sebagai langkah transisi yang diambil dalam proses islamisasi
ekonomi. Sedangkan untuk menghindari praktik murabahah yang akan
terjebak pada praktik hilah, bai’‘inah, dan bai’ al-ma’dum
maka para ulama kontemporer mensyaratkan dalam praktik jual beli murabahah
di lembaga keuangan syariah sebagai berikut:
1.
Jual
beli murabahah bukan pinjaman yang diberikan dengan bunga, tetapi merupakan
jual beli komoditas dengan harga tangguh termasuk margin keuntungan di atas
biaya perolehan yang disetujui bersama.
2.
Pemberi
pembiayaan dalam hal ini bank atau lembaga keuangan syariah lainnya,
harus telah membeli komoditas/barang dan menyimpan dalam kekuasaannya, atau
membeli melalui orang ketiga sebagai agennya sebelum dijual kepada nasabahnya.
3.
Pembelian
komoditas tidak boleh dari nasabah sendiri (komoditas milik nasabah) dengan
perjanjian buy back (pembelian kembali) karena model perjanjian seperti
ini masuk kategori bai ‘ inah yang diharamkan oleh sebagian besar
ulama.
Sejalan dengan syarat-syarat di atas, maka praktik murabahah
li al-amir bi al-Syira’ di lembaga Keuangan Syariah (LKS) ditempuh
dengan prosedur sebagai berikut:
- Nasabah dan LKS menandatangani perjanjian umum ketika LKS berjanji untuk menjual dan nasabah berjanji untuk membeli komoditas atau barang tertentu pada tingkat margin tertentu yang ditambahkan dari biaya perolehan barang;
- LKS selanjutnya bisa menunjuk nasabah sebagai agennya untuk membeli komoditas yang diperlukan nasabah atas nama LKS, dan perjanjian keagenan dengan akad wakalah ditandatangani oleh kedua belah pihak;
- Nasabah membelikan komoditas atas nama LKS dan mengambil alih penguasaan barang sebagai agen LKS, pada tahap ini resiko komoditas masih ada pada LKS;
- Nasabah menginformasikan kepada LKS bahwa ia telah membeli komoditas/atau barang atas nama LKS, dan pada saat yang sama menyampaikan penawaran untuk membeli barang tersebut dari LKS
- LKS menerima penawaran tersebut dan proses jual beli berlangsung dengan pembayaran secara cicilan/tangguh sesuai kesepakatan. Jika proses jual beli telah berlangsung maka kepemilikan dan resiko komoditas/barang telah beralih ke tangan nasabah.
Langkah-langkah di atas diperlukan apabila LKS menjadikan
nasabah sebagai agennya, tetapi jika LKS membeli komoditas/barang langsung ke
supplier maka perjanjian keagenan seperti di atas tidak diperlukan.
Dalam hal ini, setelah LKS membelikan barang langsung ke pihak supplier maka
proses jual beli antara LKS dan nasabah bisa dilaksanakan.[7]
C.
Aplikasi
Murabahah Dalam Perbankan Syariah
Di Indonesia, aplikasi jual beli murabahah pada bank
syariah didasarkan pada Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Peraturan Bank Indonesia (PBI). Menurut
keputusan fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 ketentuan murabahah pada
perbankan syariah adalah sebagai berikut :
- Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
- Barang yang diperjual-belikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
- Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
- Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
- Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
- Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
- Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
- Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
- Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.[8]
Selain itu, ketentuan pelaksanaan pembiayaan murabahah di
perbankan syariah diatur berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor
9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008, sebagai
berikut :
- Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi Murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang.
- Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas kuantitas, kualitas, harga perolehan dan spesifikasinya.
- Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah.
- Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital ), dan/atau prospek usaha (Condition).
- Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
- Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah.
- Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal Pembiayaan atas dasar Murabahah dan tidak berubah selama periode Pembiayaan.
- Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Murabahah.
- Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah.[9]
Atas dasar peraturan yang berkaitan dengan murabahah
baik yang bersumber dari Fatwa DSN maupun PBI, perbankan syariah melaksanakan
pembiayaan murabahah. Namun demikian, dalam praktiknya tidak ada
keseragaman model penerapan pembiayaan murabahah karena beberapa faktor
yang melatarbelakanginya. Ada beberapa tipe penerapan murabahah dalam
praktik perbankan syariah yang kesemuanya dapat dibagi menjadi tiga kategori
besar, yaitu:
1. Tipe Pertama
Penerapan murabahah adalah tipe konsisten terhadap fiqih
muamalah. Dalam tipe ini bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh
nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli atas nama bank
kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan
sesuai kesepakatan. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau
tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Pada
umumnya nasabah membayar secara tangguh. Untuk lebih jelasnya penerapan
murabahah tipe pertama dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
2.
Tipe
Kedua
Mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan
langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran
dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Nasabah selaku
pembeli akhir menerima barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan
bank. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik
berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah
membayar secara tangguh. Transaksi ini lebih dekat dengan murabahah yang
asli, tapi rawan dari masalah legal. Dalam beberapa kasus ditemukan adanya
klaim nasabah bahwa mereka tidak berhutang kepada bank, tapi kepada pihak
ketiga yang mengirimkan barang.
3.
Tipe
Ketiga
Ini yang paling banyak dipraktekkan oleh bank syariah. Bank
melakukan perjajian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang
sama mewakilkan (akad wakalah) kepada nasabah untuk membeli sendiri
barang yang akan dibelinya. Dana lalu dikredit ke rekening nasabah dan nasabah menandatangi
tanda terima uang. Tanda terima uang ini menjadi dasar bagi bank untuk
menghindari klaim bahwa nasabah tidak berhutang kepada bank karena tidak
menerima uang sebagai sarana pinjaman. Tipe ketiga ini bisa menyalahi
ketentuan syariah jika bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari
pihak ketiga, sementara akad jual beli murabahah telah dilakukan sebelum
barang, secara prinsip menjadi milik bank. Untuk lebih jelasnya penerapan
murabahah tipe ketiga dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Berbagai tipe praktek jual beli murabahah di atas
dilatar belakangi motivasi yang bermacam-macam. Ada kalanya untuk lebih
menyederhanakan prosedur sehingga bank tidak perlu repot-repot membeli
barang yang dibutuhkan nasabah tetapi cukup dengan menunjuk atau menghubungi supplier agar
menyediakan barang dan langsung mengirimkan ke nasabah sekaligus dengan atas
nama nassabah (Tipe II). Atau dengan cara bank langsung memberikan uang ke
nasabah kemudian nasabah membeli sendiri barang yang dibutuhkan dengan
melaporkan nota pembelian kepada pihak bank (tipe III).
Kedua cara tersebut sering dilakukan
perbankan syariah untuk menghindari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dua kali
yang dinilai akan mengurangi nilai kompetitif produk bank syariah dibandingkan
bank konvensional yang dikecualikan dari PPN. Ini terjadi karena dalam jual
beli murabahah tipe I, di mana bank terlebih dahulu akan membelikan
barang yang dibutuhkan nasabah atas nama bank baru kemudian dijual ke nasabah
secara murabahah maka akan terjadi perpindahan kepemilikan dua kali,
yaitu dari supplair ke bank dan dari bank ke nasabah.[10]
D.
Penggunaan
Pembiayaan Murabahah Dalam Perbankan Syariah
Mekanisme pembiayaan murabahah
dapat digunakan untuk pengadaan barang, modal kerja, pembangunan rumah dan
lain-lain. Berikut ini beberapa contoh aplikasi mekanisme pembiayaan murabahah
dalam perbankan syariah:
a. Pengadaan Barang
Transaksi ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip
jual beli murabahah, seperti pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan
barang untuk investasi untuk pabrik dan sejenisnya. Apabila seorang nasabah
menginginkan untuk memiliki sebuah kulkas, ia dapat datang ke bank syariah dan
kemudian mengajukan permohonan agar bank membelikannya. Setelah bank syariah
meneliti keadaan nasabah dan menganggap bahwa ia layak untuk mendapatkan
pembiayaan untuk pengadaan kulkas, bank kemudiaan membeli kulkas dan
menyerahkannya kepada pemohon, yaitu nasabah. Harga kulkas tersebut sebesar Rp.
4.000.000,- dan pihak bank ingin mendapatkan keuntungan sebesar RP. 800.000,-.
Jika pembayaran angsuran selama dua tahun, maka nasabah dapat mencicil
pembayarannya sebesar Rp. 200.000,- per bulan. Selain memberikan keuntungan
kepada bank syariah, nasabah juga dibebani dengan biaya administrasi yang
jumlahnya belum ada ketentuannya. Dalam praktiknya biaya ini menjadi pendapatan
fee base income bank syariah. Biaya-biaya lain yang diharus ditanggung oleh
nasabah adalah biaya asuransi, biaya notaris atau biaya kepada pihak ketiga.
b. Modal Kerja (Modal Kerja Barang)
Penyediaan barang persediaan untuk
modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip jual beli murabahah.
Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali putus, bukan satu akad dengan
pembelian barang berulang-ulang. Sebenarnya, penyediaan modal kerja berupa uang
tidak terlalu tepat menggunakan prinsip jual beli murabahah. Transaksi
pembiayaan modal kerja dalam bentuk barang atau uang lebih tepat menggunakan
prinsip mudharabah (bagi hasil) atau musyarakah (penyertaan modal). Karena,
jika pembiayaan modal kerja dalam bentuk uang menggunakan mekanisme murabahah,
maka transaksi ini sama dengan consumer finance (pembiayaan konsumen)
dalam bank konvesional yang mengandung usur bunga. Transaksi dalam consumer
finance menggunakan pinjam meminjam uang dan dalam murabahah menggunakan
transaksi jual beli.
c. Renovasi Rumah (Pengadaan Material
Renovasi Rumah)
Pengadaan material renovasi rumah
dapat menggunakan mekanisme jual beli murabahah. Barang-barang yang
diperjualbelikan adalah segala bentuk barang yang dibutuhkan untuk renovasi
rumah, seperti bata merah, genteng, cat, kayu dan lainlain. Transaksi dalam
pembiayaan ini hanya berlaku sekali putus, tidak satu akad dilakukan
berulang-ulang.
Adapun contoh perhitungan pembiayaan
murabahah adalah sebagai berikut:
Tuan A, pengusaha toko buku,
mengajukan permohonan pembiayaan murabahah (modal kerja) guna pembelian bahan
baku kertas, seniali Rp. 100 juta. Setelah dievaluasi bank syariah, usahanya
layak dan permohonannya disetujui, maka bank syariah akan mengangkat Tuan A
sebagai wakil bank syariah untuk membeli dengan dana dan atas namanya kemudian
menjual barang tersebut kembali kepada Tuan A sejumlah Rp 120 juta, dengan
jangka waktu 3 bulan dan dibayar lunas pada saat jatuh tempo. Asumsi penetapan
harga jual Rp. 120 juta telah dilakukan:
·
Tawar
menawar harga jual antara Tuan A dengan bank syariah.
·
Harga
jual yang disetujui, tidak akan berubah selama jangka waktu pembiayaan
(dalam hal ini 3 bulan) walaupun dalam masa tersebut terjadi devaluasi,
inflasi, maupun perubahan tingkat suku bunga bank konvensional di pasar.[11]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penerapan
konsep murabahah pada Bank Syariah
dihubungkan dengan pandangan ulama
mengalami beberapa modifikasi. Murabahah yang dipraktikkan pada LKS
dikenal dengan murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ’ , yaitu transaksi jual beli di
mana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah komoditas
dengan kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas/barang
tersebut secara murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan
tingkat keuntungan yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan
pembayaran secara installment (cicilan berkala) sesuai dengan kemampuan
finansial yang dimiliki. Mengenai kedudukan hukum praktik murâbahah li al-âmir
bi al-Syira’ ulama kontemporer berbeda pendapat. Ada yang memperbolehkan dan
ada juga yang melarang atau mengharamkan.
Dalam
praktik di perbankan syariah jual beli murabahah merupakan salah satu skim
pembiayaan di perbankan syariah yang paling dominan dibandingkan skim pembiayaan lain. Ada tiga model atau tipe
penerapan jual beli murabahah di perbankan. Pertama, tipe konsisten terhadap
fiqh muamalah. Dalam tipe ini bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah
ada perjanjian sebelumnya. Setelah
barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga
perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan bank dan nasabah.
Kedua, mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung
dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung
kepada penjual pertama/supplier. Ketiga,
bank melakukan perjajian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan kepada nasabah
untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya.
Dari
ketiga tipe tersebut, Tipe II dan Tipe III paling sering dipakai oleh perbankan syariah karena motifasi efektifitas
prosedur dan juga pertimbangan efisiensi, terutama dari pengenaan pajak
pertambahan nilai. Sementara tipe I justru dhindari padahal tipe inilah yang paling ideal dalam
konteks Fiqh muamalah.
DAFTAR PUSTAKA
Harisman, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan
Syari’ah, Jakarta : Direktorat Perbankan Syari’ah, 2006
Syafi’I, Antonio
Muhammad, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktik, Jakarta : Gema
Insani, 2001
Karim, Adiwarman A, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan,Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Ah Azharuddin Latif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada
Perbankan Syariah di Indonesia (jurnal), 2014
Dewan
Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Jakarta : CV. Gaung Persada,
2006
Bank Indonesia,
Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Akad penghimpunan dan Penyaluran dana
Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, PBI. No.
9/19/PBI/2007
Indonesia , Surat
Edaran tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa bank Syariah, Surat Edaran No. 10/14/DPbS,
Jakarta, 17 Maret 2008
[1] Harisman, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan
Syari’ah, (Jakarta : Direktorat Perbankan Syari’ah, 2006), Hal : 48
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani, 2001),Hal:
101
[3] Adiwarman A. Karim, Bank
Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2004), Hal : 88
[4]
Ah Azharuddin Latif, Konsep dan Aplikasi
Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di Indonesia (jurnal). Hal : 2
[5] Ibid., Hal : 3-5
[6] Ibid., Hal : 5-7
[7] Ibid., Hal : 8-10
[8]
Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah
Nasional MUI, (Jakarta; CV. Gaung Persada, 2006), Cet. 3, hlm. 24-25
[9] Bank Indonesia, Peraturan Bank
Indonesia (PBI) tentang Akad penghimpunan dan Penyaluran dana Bank Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, PBI. No.
9/19/PBI/2007. dan Bank Indonesia , Surat Edaran tentang Pelaksanaan Prinsip
Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan
Jasa bank Syariah, Surat Edaran No. 10/14/DPbS, Jakarta, 17 Maret 2008, pada
point III.3
[10]
Ah Azharuddin Latif, Konsep dan
Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di Indonesia (jurnal). Hal :
12-16
[11] Ibid., Hal : 16 - 18