Selasa, 14 Juni 2016

Teori dan Aplikasi Penerapan Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah



Makalah Hukum Perbankan Syariah
Teori dan Aplikasi Penerapan Akad Murabahah
Pada Perbankan Syariah
DISUSUN OLEH :
Muammar (121209300)

Dosen Pembimbing :
Chairul Fahmi M.A.


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI Ar-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH







DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................           1
A.    Latar Belakang........................................................................................................           1
B.     Rumusan Masalah....................................................................................................           1
C.     Tujuan Penulisan......................................................................................................           1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................           2
A.    Konsep Murabahah Dalam Fiqh..............................................................................           2
B.     Konsep Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS).............................           4
C.     Aplikasi Murabahah Dalam Perbankan Syariah......................................................           7
D.    Pengguanaan Pembiayaan Murabahah Dalam Perbankan Syariah..........................           12

BAB III PENUTUP..........................................................................................................           14
A.    Kesimpulan..............................................................................................................           14

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................          



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syariah berkembang dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah berbahasa Arab.  Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syariat Islam ataukah hanya rekayasa semata. Melihat banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam makalah ini penulis akan membahas salah satu produk tersebut dalam konsep perbankan syariah. Salah satu dari produk tersebut adalah Murabahah.
Murabahah adalah salah satu dari bentuk akad jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan. Karena keuntungan yang menjanjikan itulah Sehingga semua atau hampir semua lembaga keuangan syariah menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modal mereka.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana teori penerapan akad Murabahah dalam Perbankan Syariah?
2.      Bagaimana aplikasi penerapan akad Murabahah dalam Perbankan Syariah?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui teori penerapan akad Murabahah dalam Perbankan Syariah.
2.      Untuk mengetahui aplikasi penerapan akad Murabahah dalam Perbankan Syariah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Murabahah Dalam Fiqh
Murabahah berasal dari kata dasar رَبِحَ - يَرْبَحُ - ِربْحًا yang berarti beruntung. Jadi, pengertian murabahah secara bahasa adalah mengambil keuntungan yang disepakati. Bai’ murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ murabahah penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.[1] Dibawah ini defenisi tentang murabahah menurut pendapat para ekonom muslim yaitu :
Ø  Muhammad Syafi’i Antonio
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam murabahah, penjual harus memberitahu harga pokok yang ia beli dan menentukan tingkat keuntungan yang disepakati.[2]
Ø  Menurut Adiwarman A. Karim
Murabahah adalah transaksi jual beli dimana Bank menyebutkan jumlah keuntungan yang diperoleh. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin).[3]
Murabahah dalam istilah fiqh merupakan suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang (al-tsaman al-awwal) dan tingkat keuntungan yang diinginkan.[4] Murabahah masuk kategori jual beli muthlaq dan jual beli amanat. Ia disebut  jual beli muthlaq karena obyek akadnya adalah barang dan uang. Sedangkan ia termasuk kategori jual beli amanat karena dalam proses transaksinya  penjual diharuskan dengan jujur menyampaikan harga perolehan dan keuntungan yang diambil ketika akad.
Para ulama telah sepakat (ijma’) akan kebolehan akad murabahah, tetapi Alquran tidak pernah secara langsung dan tersurat membicarakan tentang murabahah, walaupun di dalamnya ada sejumlah acuan tentang jual beli dan perdagangan. Demikian  juga tampaknya tidak ada satu hadis pun yang secara spesifik membicarakan mengenai murabahah. Oleh karena itu, meskipun Imam Malik dan Imam Syafii membolehkan jual beli murabahah, tetapi keduanya tidak mempekuat pendapatnya dengan satu hadis pun. Sedangkan dasar hukum yang dijadikan sandaran kebolehan jual beli murabahah di  buku-buku fikih muamalat kotemporer lebih bersifat umum karena menyangkut jual beli atau perdagangan pada umumnya.
Di samping itu, keberadaan model jual beli murabahah sangat dibutuhkan masyarakat karena ada sebagian mereka ketika akan membeli barang tidak mengetahui kualitasnya maka ia membutuhkan pertolongan kepada yang mengetahuinya, kemudian pihak yang dimintai pertolongan tersebut membelikan barang yang dikehendaki dan menjualnya dengan keharusan menyebutkan harga perolehan (harga beli) barang dengan ditambah keuntungan.
Sebagai bagian dari jual beli, murabahah memiliki rukun dan syarat yang tidak  berbeda dengan jual beli (al-bai’) pada umumnya.Namun demikian, ada beberapa ketentuan khusus yang menjadi syarat keabsahan jual beli murabahah yaitu:
1.      Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal awal (harga perolehan/ pembelian), semuanya harus diketahui oleh pembeli saat akad; dan ini merupakan salah satu syarat sah murabahah.
2.      Adanya keharusan menjelaskan keuntungan yang ambil penjual karena keuntungan merupakan bagian dari harga. Sementara keharusan mengetahui harga barang merupakan syarat sah jual beli pada umumnya.
3.      Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki/hak kepemilikan telah berada di tangan penjual. Artinya bahwa keuntungan dan resiko  barang tersebut ada pada penjual sebagai konsekuensi dari kepemilikan yang timbul dari akad yang sah.
4.      Transaksi pertama (antara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (antara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murabahah), karena murabahah adalah jual beli dengan harga pertama disertai tambahan keuntungan.
5.      Hendaknya akad yang dilakukan terhindar dari praktik riba, baik akad yang pertama (antara penjual dalam murabahah sebagai pembeli dengan penjual barang) maupun  pada akad yang kedua antara penjual dan pembeli dalam akad murabahah.[5]

B.     Konsep Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Paparan tentang jual beli murabahah di atas merupakan konsep dan praktik murabahah yang banyak dituangkan dalam berbagai literatur klasik, dimana barang yang menjadi obyek murabahah tersedia dan dimiliki penjual pada waktu negosiasi atau akad jual beli berlangsung. Kemudian ia menjual barang tersebut kepada pembeli dengan menjelaskan harga pembelian dan keuntungan yang akan diperoleh. Karena itu, dapat dikatakan praktik tersebut adalah transaksi jual beli  biasa, kelebihannya terletak pada pengetahuan pembeli tentang harga pembelian awal sehingga menuntut kejujuran penjual dalam menjelaskan harga awal yang sebenarnya.
Dalam praktik di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk bank syariah, bentuk murabahah dalam fiqh klasik tersebut mengalami beberapa modifikasi. Murabahah yang dipraktikkan pada LKS dikenal dengan Murabahah Li al-‘Amir Bi asy-Syira’ yaitu transaksi jual beli di mana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah barang dengan kriteria tertentu, dan ia akan membeli barang tersebut secara murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara cicilan berkala sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki.
Mengenai kedudukan hukum praktik murâbahah li al-âmir bi al-Syira’ ulama kontemporer berbeda pendapat. Ada yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang atau mengharamkan. Di antara ulama yang mengakui keabsahan/kebolehan murabahah li al-‘amir bi al-Syira’ adalah Sami Hamid, Ali Ahmad Salus, Shadiq Muhammad Amin, Ibrahim Fadhil, dan lainnya. Adapun argumentasi mereka adalah sebagai berikut :
1.      Hukum asal dalam muamalah adalah diperbolehkan dan mubah kecuali terdapat nash shahih dan sharih yang melarang dan mengharamkannya.
2.      Keumuman nash Al-Qur’an dan hadis yang menunjukan kehalalan segala  bentuk jual beli, kecuali terdapat dalil khusus yang melarangnya.
3.      Terdapat nash ulama fikih yang mengakui keabsahan akad ini, di antaranya pernyataan Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm: “dan ketika seseorang memperlihatkan sebuah barang tertentu kepada orang lain, dan berkata: “belikanlah aku barang ini, dan engkau akan aku beri margin sekian”, kemudian orang tersebut mau untuk membelikannya, maka jual beli tersebut diperbolehkan”.
4.      Transaksi muamalah dibangun atas asas maslahat.
5.      Pendapat yang memperbolehkan bentuk murabahah ini dimaksudkan untuk memudahkan persoalan hidup manusia.
Adapun ulama kontemporer yang melarang dan mengharamkan praktik murabahah li al-amir bi al-Syira’ antara lain: Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Bakr  bin Abdullah Abu Zaid, Rafîq al-Mishrî dan lainnya. Berikut ini argumen yang memperkuat pendapat mereka:[6]
1.      Transaksi murabahah di LKS/bank syariah sebenarnya bukan dimaksudkan untuk melakukan jual beli tapi hanya sekedar hîlah atau trik untuk menghalalkan riba. Mereka mengatakan bahwa maksud dan tujuan sebenarnya transaksi murabahah adalah untuk mendapatkan uang tunai, sebab kedatangan nasabah ke LKS/bank syariah sebenarnya adalah untuk mendapatkan uang tunai.
2.      Transaksi murabahah termasuk jual beli ‘ înah yang diharamkan. Jual beli ‘înah adalah pinjaman ribawi yang direkayasa dengan  praktik jual beli.
3.      Bank syariah dalam melakukan transaksi murabahah, menjual barang yang tidak atau belum dimilikinya , dimana pihak bank syariah dan nasabah berjanji untuk melakukan transaksi murabahah.
Atas dasar perbedaan ulama di atas, Muhammad Taqi Usmani mengakui bahwa pada mulanya murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan melainkan hanya alat untuk menghindari “bunga bank” dan juga bukan merupakan instrumen ideal untuk mengembangkan tujuan riil ekonomi Islam. Instrumen murabahah hanya digunakan sebagai langkah transisi yang diambil dalam proses islamisasi ekonomi. Sedangkan untuk menghindari praktik murabahah yang akan terjebak pada praktik hilah, bai’‘inah, dan bai’ al-ma’dum maka para ulama kontemporer mensyaratkan dalam praktik jual beli murabahah di lembaga keuangan syariah sebagai berikut:
1.      Jual beli murabahah bukan pinjaman yang diberikan dengan bunga, tetapi merupakan jual beli komoditas dengan harga tangguh termasuk margin keuntungan di atas biaya  perolehan yang disetujui bersama.
2.      Pemberi pembiayaan dalam hal ini  bank atau lembaga keuangan syariah lainnya, harus telah membeli komoditas/barang dan menyimpan dalam kekuasaannya, atau membeli melalui orang ketiga sebagai agennya sebelum dijual kepada nasabahnya.
3.      Pembelian komoditas tidak boleh dari nasabah sendiri (komoditas milik nasabah) dengan perjanjian buy back (pembelian kembali) karena model perjanjian seperti ini masuk kategori bai ‘ inah yang diharamkan oleh sebagian besar ulama.
Sejalan dengan syarat-syarat di atas, maka praktik murabahah li al-amir bi al-Syira’ di lembaga Keuangan Syariah (LKS) ditempuh dengan prosedur sebagai berikut:
  • Nasabah dan LKS menandatangani perjanjian umum ketika LKS berjanji untuk menjual dan nasabah berjanji untuk membeli komoditas atau barang tertentu pada tingkat margin tertentu yang ditambahkan dari biaya perolehan barang;
  • LKS selanjutnya bisa menunjuk nasabah sebagai agennya untuk membeli komoditas yang diperlukan nasabah atas nama LKS, dan perjanjian keagenan dengan akad wakalah ditandatangani oleh kedua belah pihak;
  • Nasabah membelikan komoditas atas nama LKS dan mengambil alih penguasaan  barang sebagai agen LKS, pada tahap ini resiko komoditas masih ada pada LKS;
  • Nasabah menginformasikan kepada LKS bahwa ia telah membeli komoditas/atau  barang atas nama LKS, dan pada saat yang sama menyampaikan penawaran untuk membeli barang tersebut dari LKS
  • LKS menerima penawaran tersebut dan proses jual beli berlangsung dengan  pembayaran secara cicilan/tangguh sesuai kesepakatan. Jika proses jual beli telah  berlangsung maka kepemilikan dan resiko komoditas/barang telah beralih ke tangan nasabah.
Langkah-langkah di atas diperlukan apabila LKS menjadikan nasabah sebagai agennya, tetapi jika LKS membeli komoditas/barang langsung ke supplier  maka perjanjian keagenan seperti di atas tidak diperlukan. Dalam hal ini, setelah LKS membelikan barang langsung ke pihak supplier maka proses jual beli antara LKS dan nasabah bisa dilaksanakan.[7]
C.    Aplikasi Murabahah Dalam Perbankan Syariah
Di Indonesia, aplikasi jual beli murabahah pada bank  syariah didasarkan pada Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Peraturan Bank Indonesia (PBI). Menurut keputusan fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 ketentuan murabahah pada perbankan syariah adalah sebagai berikut :
  1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
  2. Barang yang diperjual-belikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
  3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
  4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan  pembelian ini harus sah dan bebas riba.
  5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya  jika pembelian dilakukan secara hutang.
  6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga  jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
  7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
  8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak  bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
  9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.[8]
Selain itu, ketentuan pelaksanaan pembiayaan murabahah di perbankan syariah diatur berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008, sebagai berikut  :
  1. Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi Murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli  barang.
  2. Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas kuantitas, kualitas, harga  perolehan dan spesifikasinya.
  3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah.
  4. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital ), dan/atau prospek usaha (Condition).
  5. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
  6. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah.
  7. Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal Pembiayaan atas dasar Murabahah dan tidak berubah selama periode Pembiayaan.
  8. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis  berupa Akad Pembiayaan atas dasar Murabahah.
  9. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan  berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah.[9]
Atas dasar peraturan yang berkaitan dengan murabahah baik yang bersumber dari Fatwa DSN maupun PBI, perbankan syariah melaksanakan pembiayaan murabahah. Namun demikian, dalam praktiknya tidak ada keseragaman model penerapan pembiayaan murabahah karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Ada beberapa tipe penerapan murabahah dalam praktik perbankan syariah yang kesemuanya dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu:
1.      Tipe Pertama
Penerapan murabahah adalah tipe konsisten terhadap fiqih muamalah. Dalam tipe ini bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh  baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh. Untuk lebih jelasnya penerapan murabahah tipe pertama dapat dilihat pada gambar di bawah ini :




2.      Tipe Kedua
Mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Nasabah selaku pembeli akhir menerima barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan bank. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh. Transaksi ini lebih dekat dengan murabahah yang asli, tapi rawan dari masalah legal. Dalam beberapa kasus ditemukan adanya klaim nasabah bahwa mereka tidak berhutang kepada bank, tapi kepada pihak ketiga yang mengirimkan  barang.

Meskipun nasabah telah menandatangani perjanjian murabahah dengan  bank, perjanjian ini kurang memiliki kekuatan hukum karena tidak ada tanda bukti  bahwa nasabah menerima uang dari bank sebagai bukti pinjaman/hutang. Untuk mengindari kejadian seperti itu maka ketika bank syariah dan nasabah telah menyetujui untuk melakukan transaksi murabahah maka bank akan mentransfer pembayaran barang ke rekening nasabah (numpang lewat) kemudian didebet dengan persetujuan nasabah untuk ditranfer ke rekening supplier. Dengan cara seperti ini maka ada bukti bahwa dana pernah ditranfer ke rekening nasabah. Namun demikian, dari perspektif syariah model murabahah seperti ini tetap saja  berpeluang melanggar ketentuan syariah jika pihak bank sebagai pembeli pertama tidak pernah menerima barang (qabdh) atas namanya tetapi langsung atas nama nasabah. Karena dalam prinsip syariah akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank. Untuk lebih jelasnya penerapan murabah tipe kedua dapat dilihat pada gambar di bawah ini:






3.      Tipe Ketiga
Ini yang paling banyak dipraktekkan oleh bank syariah. Bank melakukan  perjajian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan (akad wakalah) kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya. Dana lalu dikredit ke rekening nasabah dan nasabah menandatangi tanda terima uang. Tanda terima uang ini menjadi dasar bagi bank untuk menghindari klaim bahwa nasabah tidak berhutang kepada bank karena tidak menerima uang sebagai sarana  pinjaman. Tipe ketiga ini bisa menyalahi ketentuan syariah jika bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, sementara akad jual beli murabahah telah dilakukan sebelum barang, secara prinsip menjadi milik bank. Untuk lebih jelasnya penerapan murabahah tipe ketiga dapat dilihat pada gambar di bawah ini:







Berbagai tipe praktek jual beli murabahah di atas dilatar belakangi motivasi yang bermacam-macam. Ada kalanya untuk lebih menyederhanakan prosedur sehingga  bank tidak perlu repot-repot membeli barang yang dibutuhkan nasabah tetapi cukup dengan menunjuk atau menghubungi supplier agar menyediakan barang dan langsung mengirimkan ke nasabah sekaligus dengan atas nama nassabah (Tipe II). Atau dengan cara bank langsung memberikan uang ke nasabah kemudian nasabah membeli sendiri barang yang dibutuhkan dengan melaporkan nota pembelian kepada pihak bank (tipe III).
Kedua cara tersebut sering dilakukan perbankan syariah untuk menghindari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dua kali yang dinilai akan mengurangi nilai kompetitif produk bank syariah dibandingkan bank konvensional yang dikecualikan dari PPN. Ini terjadi karena dalam jual beli murabahah tipe I, di mana bank terlebih dahulu akan membelikan barang yang dibutuhkan nasabah atas nama bank baru kemudian dijual ke nasabah secara murabahah maka akan terjadi perpindahan kepemilikan dua kali, yaitu dari supplair ke bank dan dari bank ke nasabah.[10]
D.    Penggunaan Pembiayaan Murabahah Dalam Perbankan Syariah
Mekanisme pembiayaan murabahah dapat digunakan untuk pengadaan barang, modal kerja, pembangunan rumah dan lain-lain. Berikut ini beberapa contoh aplikasi mekanisme pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah:
a.       Pengadaan Barang
Transaksi ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli murabahah, seperti pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang untuk investasi untuk pabrik dan sejenisnya. Apabila seorang nasabah menginginkan untuk memiliki sebuah kulkas, ia dapat datang ke bank syariah dan kemudian mengajukan permohonan agar bank membelikannya. Setelah bank syariah meneliti keadaan nasabah dan menganggap  bahwa ia layak untuk mendapatkan pembiayaan untuk pengadaan kulkas, bank kemudiaan membeli kulkas dan menyerahkannya kepada pemohon, yaitu nasabah. Harga kulkas tersebut sebesar Rp. 4.000.000,- dan pihak bank ingin mendapatkan keuntungan sebesar RP. 800.000,-. Jika pembayaran angsuran selama dua tahun, maka nasabah dapat mencicil pembayarannya sebesar Rp. 200.000,- per bulan. Selain memberikan keuntungan kepada bank syariah, nasabah juga dibebani dengan biaya administrasi yang jumlahnya belum ada ketentuannya. Dalam praktiknya biaya ini menjadi pendapatan fee base income bank syariah. Biaya-biaya lain yang diharus ditanggung oleh nasabah adalah biaya asuransi, biaya notaris atau biaya kepada pihak ketiga.
b.      Modal Kerja (Modal Kerja Barang)
Penyediaan barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip  jual beli murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali putus, bukan satu akad dengan pembelian barang berulang-ulang. Sebenarnya, penyediaan modal kerja berupa uang tidak terlalu tepat menggunakan prinsip jual beli murabahah. Transaksi pembiayaan modal kerja dalam bentuk barang atau uang lebih tepat menggunakan prinsip mudharabah (bagi hasil) atau musyarakah (penyertaan modal). Karena, jika pembiayaan modal kerja dalam bentuk uang menggunakan mekanisme murabahah, maka transaksi ini sama dengan consumer finance (pembiayaan konsumen) dalam bank konvesional yang mengandung usur bunga. Transaksi dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang dan dalam murabahah menggunakan transaksi  jual beli.
c.       Renovasi Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah)
Pengadaan material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme jual beli murabahah. Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala bentuk barang yang dibutuhkan untuk renovasi rumah, seperti bata merah, genteng, cat, kayu dan lainlain. Transaksi dalam pembiayaan ini hanya berlaku sekali putus, tidak satu akad dilakukan berulang-ulang.
Adapun contoh perhitungan pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:
Tuan A, pengusaha toko buku, mengajukan permohonan pembiayaan murabahah (modal kerja) guna pembelian bahan baku kertas, seniali Rp. 100 juta. Setelah dievaluasi bank syariah, usahanya layak dan permohonannya disetujui, maka bank syariah akan mengangkat Tuan A sebagai wakil bank syariah untuk membeli dengan dana dan atas namanya kemudian menjual barang tersebut kembali kepada Tuan A sejumlah Rp 120 juta, dengan jangka waktu 3 bulan dan dibayar lunas pada saat jatuh tempo. Asumsi penetapan harga jual Rp. 120 juta telah dilakukan:
·         Tawar menawar harga jual antara Tuan A dengan bank syariah.
·         Harga jual yang disetujui, tidak akan  berubah selama jangka waktu pembiayaan (dalam hal ini 3 bulan) walaupun dalam masa tersebut terjadi devaluasi, inflasi, maupun perubahan tingkat suku bunga bank konvensional di pasar.[11]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Penerapan konsep murabahah pada Bank Syariah  dihubungkan dengan pandangan ulama  mengalami beberapa modifikasi. Murabahah yang dipraktikkan pada LKS dikenal dengan murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ’ , yaitu transaksi jual beli di mana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah komoditas dengan kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas/barang tersebut secara murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara installment (cicilan berkala) sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki. Mengenai kedudukan hukum praktik murâbahah li al-âmir bi al-Syira’ ulama kontemporer berbeda pendapat. Ada yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang atau mengharamkan.
Dalam praktik di perbankan syariah jual beli murabahah merupakan salah satu skim pembiayaan di perbankan syariah yang paling dominan dibandingkan skim  pembiayaan lain. Ada tiga model atau tipe penerapan jual beli murabahah di perbankan. Pertama, tipe konsisten terhadap fiqh muamalah. Dalam tipe ini bank membeli dahulu  barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya. Setelah  barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan bank dan nasabah. Kedua, mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual  pertama/supplier. Ketiga, bank melakukan perjajian murabahah dengan nasabah, dan  pada saat yang sama mewakilkan kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya.
Dari ketiga tipe tersebut, Tipe II dan Tipe III paling sering dipakai oleh  perbankan syariah karena motifasi efektifitas prosedur dan juga pertimbangan efisiensi, terutama dari pengenaan pajak pertambahan nilai. Sementara tipe I justru dhindari  padahal tipe inilah yang paling ideal dalam konteks Fiqh muamalah.







DAFTAR PUSTAKA

Harisman, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syari’ah, Jakarta : Direktorat Perbankan Syari’ah, 2006
Syafi’I, Antonio Muhammad, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2001
Karim, Adiwarman A, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Ah Azharuddin Latif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di Indonesia (jurnal), 2014
Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah  Nasional MUI, Jakarta : CV. Gaung Persada, 2006
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Akad penghimpunan dan Penyaluran dana Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, PBI. No. 9/19/PBI/2007
Indonesia , Surat Edaran tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa bank Syariah, Surat Edaran No. 10/14/DPbS, Jakarta, 17 Maret 2008



[1] Harisman, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syari’ah, (Jakarta : Direktorat Perbankan Syari’ah, 2006), Hal : 48
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani, 2001),Hal: 101
[3] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Hal : 88
[4] Ah Azharuddin Latif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di Indonesia (jurnal). Hal : 2
[5] Ibid., Hal : 3-5
[6] Ibid., Hal : 5-7
[7] Ibid., Hal : 8-10
[8] Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, (Jakarta; CV. Gaung Persada, 2006), Cet. 3, hlm. 24-25
[9] Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Akad penghimpunan dan Penyaluran dana Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, PBI. No. 9/19/PBI/2007. dan Bank Indonesia , Surat Edaran tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa bank Syariah, Surat Edaran No. 10/14/DPbS, Jakarta, 17 Maret 2008, pada point III.3
[10]  Ah Azharuddin Latif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di Indonesia (jurnal). Hal : 12-16
[11] Ibid., Hal : 16 - 18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

animasi bergerak gif
Dance